Penyesalan bagi orang yang taklid buta
Posted 03/07/2012
on:Belajar untuk menuntut ilmu kadang membuat sebagian orang terasa berat yang disebabkan banyak factor. Tidak peduli dengan umur, baik masih anak-anak sampai dengan orang yang sudah tua. Padahal dalam Islam menuntut ilmu adalah wajib dikala umur masih melekat padanya. Tentu kewajiban ini banyak dalil yang mengaturnya.
Imam Syafi’I berkata “ Barang siapa yang menghendaki dunia, maka hendaklah dia berilmu. Dan barang siapa yang menghendaki Akherat, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia dan akherat, maka hendaknya dia berilmu (Al-Majmu Sarh al Muhadzdzab 1/30 oleh an-Nawawi, Majalah Al Furqon edisi 120 hal. 63)
Dengan keterbatasan ilmu seseorang menjadikan dirinya terkungkung dengan budaya-budaya di sekitar dirinya. Segala hal yang dilakukan hanya berdasarkan ikut-ikutan saja tanpa didasari dengan ilmu yang syar’i. Inilah tantangan berat yang mesti dilalui seorang hamba bagi kaum muslim yang menginginkan kehidupan bahagia dunia akherat.
Coba kita Tanya pada diri kita sendiri “dasar kita melakukan ibadah yang kita lakukan kita peroleh dari mana? Dari guru-guru ngaji kita, dari ajaran nenek kakek moyang kita? Atau hanya sekedar ikut-ikutan orang yang saban hari bergaul dengan kita?
Banyak orang yang sudah lanjut usia ketika diberi peringatan dan dibacakan al-Qur’an beralasan : “Kami mengikuti bapak-bapak dan kyai kami”. Ini berbahaya, karena manusia meningal dunia dihisab (diperhitungkan amalnya) oleh Allah SWT., bukan kembali kepada bapak dan kyainya.”
Taklid adalah mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui dalilna yang benar. Taklid hukumnya haram dan berbahaya di dunia dan akherat. Berbahaya di dunia karena dia bingung dengan hawa nafsu yang membodohi dirinya. Berbahaya di akherat karena orang yang dijadikan pijakan hidupnya tidak bertanggung jawab dan tidak mampu menolak siksaan Allah SWT. sedikitpun yang menimpa kepadanya.
Imam hmad bin Hambal berkata , “kamu jangan taklid kepadaku, jangan taklid kepada Imam Malik, Imam Syafii, Imam Auza’I, Imam ats-Tsauri, tetapi ambilah dari (tempat) mana mereka mengambil.(Ibnul Qim dalam I’lamul Muwaqqi’in 2/302).
Imam Ahmad berkata, “Itiba’ aitu orang yang mengikuti apa ang didatangkan oleh Rasulullah saw dan sahabatnya, sedangkan orang sesudah mereka yaitu tabi’in, mereka boleh mengambilnya.”
Ya Allah,
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk berpegang kepada agama-Mu.