Citra Baru Perempuan Arab Saudi Masa Kini
Posted 15/06/2012
on:Termarjinalkan, tertindas, terkungkung, dan tidak berpendidikan. Mungkin kata-kata itu yang terbersit sekilas dalam benak kita untuk menggambarkan status dan peran perempuan Arab Saudi dalam sektor publik dan swasta di negaranya.
Faktanya, diskriminasi yang terlembagakan secara hukum terhadap para perempuan Saudi memang benar-benar terjadi selama beberapa dasawarsa akibat pengaruh dari para ulama/agamawan garis keras/konservatif yang telah keliru menafsirkan konsep-konsep Islam.
Beberapa pembuat kebijakan menggunakan aturan Islam yang terdistorsi untuk mendukung ide-ide konservatif mereka, misalnya bahwa perempuan tidak boleh berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, harus tetap berada di dalam rumah, dan tidak boleh berperan dalam menentukan masa depan negaranya.
Tapi itu semua cerita lama. Samar Fatany, seorang penulis yang juga merupakan penyiar radio di Jeddah dalam tulisannya di harian lokal berbahasa Inggris Saudi Gazette edisi Sabtu, 5 Mei 2012 menyoroti perkembangan status perempuan Saudi dewasa ini. Menurutnya, kalangan perempuan profesional Saudi saat ini telah menunjukkan keberanian dan tekad yang kuat untuk menghilangkan stereotip sebagai kalangan tertindas dan tidak berpendidikan.
Mereka mulai menciptakan citra baru dan menegaskan identitas progresif mereka di pentas dunia.
Dalam tulisannya, Samar menegaskan bahwa Perempuan Saudi berkualitas sekarang ini tidak lagi terpinggirkan dan terkungkung pada jenis-jenis profesi tertentu yang terbatas. Sebaliknya, kontribusi mereka mencerminkan kemampuan mereka dalam bidang-bidang spesialisasi yang sebelumnya dibatasi bagi mereka, seperti perbankan dan keuangan, teknologi informasi dan konsultan.
Kita mungkin belum familiar dengan nama-nama perempuan Saudi seperti Taher Nahed, Lama Alsolaiman, Nashwa Taher, ataupun Dr. Arwa Alama. Namun di negaranya, nama mereka cukup kondang sebagai perempuan Saudi berkualitas yang terus memajukan bisnis dan perusahaan inovatif serta mengambil peran aktif dalam membentuk perekonomian Arab Saudi sekaligus memperkenalkan perempuan kepada komunitas bisnis.
Belakangan ini eksposur media massa di Arab Saudi terhadap capaian dan prestasi para perempuan Saudi dirasakan semakin meningkat.
Masuknya 12 perempuan Saudi ke dalam daftar 100 perempuan Arab paling berpengaruh tahun 2012 versi majalah CEO Middle East yang dirilis baru-baru ini merupakan penegasan sekaligus pengakuan akan eksistensi peran perempuan Saudi pada berbagai bidang, tidak hanya di pentas lokal tetapi juga dunia. Bahkan, Lubna Olayan, CEO Olayan Financing Company yang berbasis di Riyadh dan Princess Ameerah Al Taweel, salah satu filantropis tersohor dunia berhasil menduduki peringkat ketiga dan keempat.
Semakin luasnya partisipasi dan peran perempuan Saudi di sektor publik maupun swasta tentunya tidak lepas dari kebijakan Raja Abdullah bin Abdulaziz yang terus mendorong adanya reformasi bagi hak-hak perempuan dan sikapnya yang mendukung integrasi perempuan di dunia kerja serta menyambut baik kontribusi perempuan bagi kesejahteraan ekonomi negaranya.
Dalam pidatonya di hadapan Majelis Syura pada 25 September 2011, Raja Abdullah secara tegas menolak marjinalisasi perempuan di segala bidang dan mendorong partisipasi mereka dalam kehidupan politik. Pidatonya, yang mengutip beberapa contoh perempuan terkenal sepanjang sejarah Islam, menunjukkan tekad besar untuk memberdayakan perempuan Saudi dan menghentikan berbagai upaya untuk melemahkan peran mereka atas nama Islam. Ia juga menekankan perlunya memodernisasi masyarakat dan menyerang orang-orang yang menentang pelibatan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan.
Pidato tersebut diikuti dengan penerbitan Dekrit/Keputusan Raja yang pada intinya membolehkan perempuan Saudi untuk maju dan memilih dalam pemilu daerah dan menjadi anggota Majelis Syura (MPR Arab Saudi), yaitu lembaga yang bertindak sebagai majelis penasihat bagi raja tetapi tidak memiliki kewenangan legislatif.
Partisipasi perempuan Saudi pada Majelis Syura dan Dewan Daerah tentunya dapat menjadi wadah bagi mereka untuk dapat memberi tekanan dan rekomendasi pada pemerintah melalui lobi-lobi mereka guna mengatasi berbagai tantangan yang telah menghambat kemajuan mereka, seperti pelarangan perempuan mengemudi, keengganan masyarakat untuk mendukung perempuan duduk dalam jajaran kepemimpinan, kultur segregasi yang ketat dalam masyarakat, cadar yang dapat mengurangi efisiensi dan profesionalisme karir perempuan, dan kebijakan diskriminatif di tempat kerja.
Penulis: Nur Ibrahim
Konsul Muda Pensosbud
KJRI Jeddahnur.ibrahim@kemlu.go.id
nur.ibrahim147@gmail.com
Sumber : Kemenlu