Khilaful Aula
Posted 28/04/2012
on:Suatu hari menjelang masuk ke waktu sholat maghrib, saat beriringan berjalan dengan seorang teman menuju masjid sambil berbincang-bincang berbagai hal. Kala itu dia bertanya, apa beda antara makruh dengan khilaful aula?
Sejenak pikiran melayang berpikir mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun belum ketemu juga. Karena kurangnya pengetahuan tentang itu , maka jawaban coba diusahakan dicari.
Khilaful aula dapat berarti berbeda dengan yang lebih utama/menyalahi. Untuk mencari jawaban tersebut saya ambilkan dua tulisan sebagai contoh yang terkait dengan pertanyaan di atas. barangkali bisa dicari kesimpulannya.
Pertama, HAK DAN KEWAJIBAN KELUARGA SI SAKIT DAN TEMAN-TEMANNYA
Dr. Yusuf Qardhawi
RUKHSHAH BAGI SI SAKIT UNTUK MENGELUARKAN DERITANYA
Tidak mengapa bagi si sakit untuk mengeluhkan rasa sakit dan penderitaannya kepada dokter atau perawatnya, kerabat atau temannya, selama hal itu dilakukan tidak untuk menunjukkan kebencian kepada takdir, atau untuk menunjukkan keluh kesah dan kekesalannya.
Hal ini disebabkan orang yang dijadikan tempat mengaduh lebih-lebih jika ia dokter atau perawat kadang-kadang punya obat yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, atau minimal meringankannya. Disamping itu, menyampaikan keluhan kepada orang yang dipercayainya dapat meringankan beban psikologis, lebih-lebih jika orang itu mau menanggapinya,
merasa iba padanya, dan ikut merasakan penderitaan yang dialaminya. Seorang penyair kuno mengatakan:
“Aku mengaduh dan mengeluh Padahal mengeluh seperti ini tak biasa kulakukan Tapi memang Bila gelas sudah penuh isinya Ia akan tumpah keluar.”
Pujangga lain mengatakan:
“Tak apalah engkau mengaduh
Kepada orang yang berbudi luhur
Agar ia iba padamu
Atau menenangkan jiwamu
Atau turut merasakan penderitaanmu.”
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwa Nabi saw. pernah berkata:
“Aku demam yang panasnya setinggi yang dialami dua orang dari kalian.”
Diriwayatkan dari al-Qasim bin Muhammad bahwa Aisyah r.a. pernah berkata, “Aduh, kepalaku sakit.” Dan Nabi saw. menimpali, “Aduh, kepalaku juga sakit!”
Dan diriwayatkan dari Sa’ad, ia berkata, “Rasulullah saw. datang menjenguk saya ketika penyakit saya bertambah berat pada waktu haji wada’, lalu saya berkata, ‘Saya menderita sakit sebagaimana yang engkau lihat …”71
Imam Bukhari meriwayatkan dalam al-Adabul-Mufrad dari Urwah bin Zuber, ia berkata, Saya dan Abdullah bin Zuber pernah menjenguk Asma’ binti Abu Bakar yang nota bene ibu mereka sendiri lalu Abdullah bertanya kepada Asma’, ‘Bagaimana keadaan Ibunda?’ Asma’ menjawab, ‘Sakit.'”72
Riwayat-riwayat ini menolak anggapan sebagian ulama yang mengatakan bahwa orang sakit dimakruhkan mengeluh/mengaduh. Imam Nawawi mengomentari pendapat sebagian ulama tersebut dengan mengatakan, “Ini adalah pendapat yang lemah atau batil, karena sesuatu yang makruh ditetapkan dengan adanya larangan yang dimaksud, sedangkan yang demikian tidak didapati.”
Kemudian beliau berhujjah dengan hadits Aisyah dalam bab ini,lalu berkata, “Barangkali yang mereka maksud dengan karahah (makruh) disini adalah khilaful-aula (menyalahi sesuatu yang lebih utama), sebab tidak diragukan lagi bahwa melakukan dzikir lebih utama (daripada mengaduh/mengerang).”73
Al-Qurthubi berkata, “Sebenarnya tidak seorang pun yang dapat menolak rasa sakit, dan memang jiwa manusia diciptakan untuk dapat merasakan yang demikian, maka apa yang telah diciptakan Allah pada manusia tidaklah dapat diubah. Hanya saja, manusia dibebani tugas untuk melepaskan diri dari sesuatu yang dapat ditinggalkan apabila ditimpa musibah, misalnya berlebihan dalam mengeluh dan mengaduh, karena orang yang berbuat begitu berarti telah keluar dari artian sebagai ahli sabar. Adapun semata-mata mengaduh tidaklah tercela, kecuali ia membenci apa yang ditakdirkan atas dirinya.”74
Bahkan Imam Muslim meriwayatkan dari Utsman bin Abil ‘Ash bahwa dia mengeluhkan rasa sakit pada tubuhnya kepada Rasulullah saw., lalu beliau bersabda kepadanya:
“Letakkan tanganmu pada badan tubuhmu yang sakit, dan ucapkan ‘bismillah’ (dengan nama Allah) tiga kali, dan ucapkan doa ini sebanyak tujuh kali: ‘Aku berlindung dengan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya dari apa yang aku derita dan aku khawatirkan.'”75
Para ulama mengatakan, “Dari riwayat ini dirumuskan hukum sunnahnya menyampaikan keluhan kepada orang yang bisa memohonkan berkah, karena mengharapkan keberkahan doanya”76
Imam Ahmad biasanya memuji Allah terlebih dahulu, baru setelah itu beliau memberitahukan apa yang dideritanya, mengingat riwayat dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan, “Apabila menyampaikm syukur terlebih dahulu sebelum menyampaikan keluhan, maka tidaklah dia dinilai berkeluh kesah.”77
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari perkataan Nabi saw. Dalam hadits Aisyah (“kepala saya juga sakit”) dengan mengatakan:
“Riwayat ini menunjukkan bahwa mengatakan sakit tidak termasuk berkeluh kesah. Sebab betapa banyak orang yang hanya berdiam tetapi hati mereka merasa jengkel (marah),
dan betapa banyak orang yang mengadukan sakitnya tetapi hatinya merasa ridha. Maka yang perlu diperhatikan di sini adalah amalan hati, bukan amalan lisan.78 Wallahu a’lam.
Disisi lain, bagi orang yang menerima keluhan hendaklah ia berusaha meringankan penderitaan si sakit dengan membelainya atau menyentuhnya dengan penuh kasih sayang, dengan perkataan yang menyejukkan hati, dan dengan doa yang baik, sebaggõimana
yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap Sa’ad. Aisyah binti Sa’ad meriwayatkan bahwa ayahnya bercerita, “Ketika saya di Mekah, saya mengadukan sakit yang berat, kemudian Nabi saw menjenguk saya. Kemudian beliau menaruh tangan beliau dan mengusapkannya pada muka dan perut saya, seraya berdoa:
“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad, dan sempurnakanlah hijrahnya.”
Sa’ad berkata, “Maka saya senantiasa merasakan dinginnya tangan beliau di hati saya –menurut perasaan saya hingga hari kiamat.”79
Ibnu Mas’ud juga berkata, “Saya pernah masuk ke tempat Rasulullah saw. ketika beliau sedang sakit parah, lalu saya belai beliau dengan tangan saya sembari berkata, ‘Wahai
Rasulullah, sakitmu sangat berat.’ Beliau menjawab, ‘Benar, sebagaimana yang diderita oleh dua orang diantara kamu.’ Saya berkata, ‘Hal itu karena engkau mendapat dua pahala?’ Beliau menjawab, ‘Benar.’ Kemudian beliau bersabda:
“Tidak seorang muslim yang ditimpa suatu gangguan berupa penyakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.”80
Selain itu, hendaklah ia berusaha meringankan penderitaan si sakit dengan mengingatkannya akan keutamaan sabar terhadap cobaan Allah dan ridha menerima qadha-Nya, mengingatkannya akan pahala orang yang mendapatkan ujian lantas ia bersabar dan rela menerimanya. Hendaklah ia mengingatkan bahwa penyakit yang menimpanya adalah untuk menyucikan dan menebus dosa-dosanya, untuk menambah kebaikannya, atau untuk meninggikan derajatnya. Disamping itu! ia juga sebaiknya diberi pengertian bahwa orang yang paling berat cobaannya ialah para nabi, kemudian orang-orang yang memiliki derajat di bawahnya, dan seterusnya. Perlu juga diingatkan kepadanya tentang ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi, serta biografi para shalihin yang sekiranya dapat menenangkan dan memantapkan hatinya, tidak menjadikannya jenuh dan berat. Kemudian sebaiknya ia diajari dengan sesuatu yang dapat meninggikan jiwanya, sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. terhadap Utsman bin Abil ‘Ash.
Adapun mengenai pengaduan kepada Sang Pencipta Yang Maha Luhur, maka Al-Qur’an telah mengisahkan beberapa orang Nabi a.s. yang mulia. Diantaranya Al-Qur’an mengisahkan Nabi Ya’qub a.s. yang mengatakan:
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku …” (Yusuf: 86)
Demikian pula ketika mengisahkan Nabi Ayub a.s.:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya:
‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (al-Anbiya’: 83)
Ayat-ayat ini sekaligus menyangkal anggapan golongan sufi yang mengatakan bahwa berdoa merusak keridhaan dan penyerahan.81
Dalam hal ini sebagian mereka berkata, “Pengetahuan-Nya tentang keadaanku tidak memerlukan aku meminta kepada-Nya.”
Tetapi yang perlu ditegaskan disini bahwa berdoa dan memohon kepada Allah adalah ibadah, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw.
Sebenarnya, menurut kesepakatan para ulama, yang tergolong makruh dalam hal ini ialah berkeluh kesah terhadap Tuhannya, yaitu menyebut-nyebut penderitaannya kepada manusia dengan jalan memaki-maki.82
Inilah yang dilakukan oleh sebagian orang yang melupakan nikmat Allah, yang mereka ingat hanyalah bala dan bencana semata.
Sumber :http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Sakit20.html
Haram & Makruh :
والمحظور من حيث وصفه بالحظراى الحرمة مايثاب على تركه امتثاﻻ ويعاقب على فعله ويكفى فى صدق العقاب وجوده لواحد من العصاة معالعفو عن غيره ويجوزان يريد ان يترتب العقاب على فعله كماعبربه غيره فلاينافى العفو
penjelasan:
Al-mahdhûr juga disebut dengan istilah : MUHARROM, HARAM, DZANBU (dosa), MAZJÚR ‘ANHU, MUTAWA’AD ‘ALAIH dan HAJRU .
Pengertian al-mahdhúr (haram) adalah : “Suatu perkara yg jika ditinggalkan, dengan niat mematuhi perintah Allah, akan mendapatkan pahala & jika dikerjakan akan mendapatkan siksa”. Dengan definisi seperti ini, maka MAKRUH TAHRIM juga termasuk dalam definisi HARAM, karena makruh tahrim jika dikerjakan akan mendapatkan siksa dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
Hanya saja para ulama sedikit membedakan antara HARAM dengan MAKRUH TAHRIM, sebagai berikut :
الحرام ماثبت نهيه بدليل قطعى ﻻيحتمل التأويل
“HARAM adalah suatu perkara yang dilarang berdasarkan DALIL QOTH’I yang tidak menerima untuk di takwili dengan pengertian yg lain”.
Sedangkan makruh tahrim
والمكروه كراهةتحريم ماثبت نهيه بدليل يحتمل التأويل
“sesuatu yang dilarang berdasarkan suatu dalil yang masih bisa DI TAKWILI dengan pengertian yang lain”.
Sedangkan perbedaan antara makruh tanzih dan makruh tahrim adalah :
أن كراهة التنزيه ماﻻ يعاقب على فعله ,
“makruh tanzih, suatu perkara yang jika dilakukan tidak mendapat siksa”.
وكراهةالتحريم مايعاقب على فعله
“makruh tahrim, adalah suatu perkara yang jika dilakukan akan mendapat siksa”.
Meninggalkan perkara HARAM atau MAKRUH, akan mendapatkan pahala, apabila DI SERTAI NIAT/TUJUAN MEMATUHI PERINTAH ALLAH. Apabila karena TAKUT/MALU kpd manusia…dsb, maka tidak akan mendapatkan pahala. Misalnya tidak mau berzina karena malu kepada manusia lainya, tidak mau mencuri karena takut ketahuan orang jadi malu….dsb, maka meninggalkan perbuatan haram seperti ini tidak akan mendapatkan pahala.
Berbeda dengan perkara WAJIB & SUNAH, bagi orang yang mengerjakannya akan tetap mendapatkan pahala, meski tidak disertai tujuan mematuhi perintah Allah . Karena perkara wajib dan sunah bisa dianggap sah dan mencukupi dari tuntutan TAKLIF, jika dalam pelaksanaannya disertai niat. Sedangkan meninggalkan perkara haram dan makruh, untuk dianggap sah, tidak harus disertai niat.
Namun, ada juga sebagian perkara wajib yang harus di niati: sepeti memberi nafkah untuk istri, mengembalikan barang titipan,,,dsb. Perkara wajib semacam ini, untuk bisa mendapatkan pahala, harus disertai tujuan mematuhi printah Allah (قصدالامتثال).
Untuk masalah Makruh,
والمكروه من حيث وصفه بالكراهةمايثاب على تركه امتثاﻻ وﻻ يعاقب على فعله
penjelasan:
Makruh secara bahasa berarti : perkara yang Dibenci (المبغوض).
Sedangkan menurut istilah adalah : “suatu yang akan mendapatkan pahala jika ditinggalkan, dengan tujuan mematuhi perintah Allah, dan tidak akan disiksa jika dikerjakan”.
Para ulama Mutaqoddimin tdk membedakan antara makruh dengan khilaful-Aula. Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, pengertian dari khilaful aula adalah:
ماكان بنهى غيرمخصوص كالنهى عن ترك المندوبات المستفادمن أوامرهالأن الأمر بالشئ نهى عن ضده.
“sesuatu yg dianjurkan untuk ditinggalkan, namun tdk berdasarkan larangan secara jelas, seperti : anjuran untuk tidak meninggalkan perkara2 sunah, yang di faham dari perintah untuk melaksanakannya, karena memerintahkan sesuatu berarti melarang kebalikannya”
Sumber :http://heramkempek.blogspot.com/2011/05/haram-makruh.html